Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Di negara kita, Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan bagi seluruh warga. Salah satu langkah penting yang diambil adalah dengan merumuskan peraturan-peraturan yang mengatur pelayanan kesehatan, salah satunya adalah melalui undang-undang kesehatan.
Dalam undang-undang kesehatan yang baru-baru ini disahkan, termuat sejumlah pasal yang menegaskan kewajiban dan hak-hak terkait pelayanan kesehatan dalam situasi gawat darurat. Salah satu pasal yang relevan adalah Pasal 174 Ayat (1) yang mengamanatkan bahwa fasilitas kesehatan milik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi seseorang yang berada dalam situasi gawat darurat, dengan tujuan utama untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah terjadinya kedisabilitasan.
Hal ini berarti bahwa setiap fasilitas kesehatan, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, memiliki tanggung jawab moral dan etika untuk memberikan pertolongan secepatnya pada pasien yang berada dalam kondisi darurat atau menghadapi situasi bencana. Pentingnya memberikan pelayanan kesehatan yang cepat dan tepat dalam kondisi darurat menjadi sorotan utama dalam pasal ini.
Namun, sayangnya, realitas di lapangan terkadang tidak selalu sesuai dengan harapan. Pasal 174 Ayat (2) dengan tegas menyatakan bahwa fasilitas kesehatan tidak boleh menolak pasien yang datang dalam kondisi gawat darurat. Tidak jarang, masih terjadi penolakan pasien dalam kondisi darurat, diminta uang muka, atau malah didahulukan urusan administratif yang dapat menunda pemberian pelayanan kesehatan.
Untk mengatasi masalah ini, undang-undang kesehatan juga menetapkan sanksi bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah diatur. Pasal 438 Ayat (1) menjelaskan bahwa pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga medis, dan/atau tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat dapat dikenai pidana penjara dengan maksimal 2 tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000.
Sanksi yang diberikan bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pihak-pihak yang mengabaikan tugas dan kewajiban mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dan tepat waktu. Dengan adanya sanksi ini, diharapkan fasilitas kesehatan dan para tenaga medis akan lebih berkomitmen dalam menjalankan tugas mulia mereka untuk menyelamatkan nyawa.
Selain itu, Pasal 438 Ayat (2) menegaskan bahwa jika pertolongan pertama tidak diberikan dan menyebabkan kedisabilitasan atau bahkan kematian pada pasien, maka sanksi pidana yang dijatuhkan akan lebih berat. Pimpinan fasilitas kesehatan bisa dipidana penjara dengan maksimal 10 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Sanksi ini tentu bertujuan untuk memberikan keadilan bagi pasien dan masyarakat, serta memberikan sinyal kuat bahwa kelalaian dalam memberikan pelayanan kesehatan yang memadai tidak akan ditoleransi.
Dengan demikian, undang-undang kesehatan yang baru ini merupakan langkah maju dalam memberikan perlindungan dan jaminan bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Penegakan hukum dalam pelayanan kesehatan menjadi fondasi penting untuk mencapai tujuan bersama, yaitu menciptakan sistem kesehatan yang berkeadilan dan dapat diandalkan, serta mampu menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kualitas hidup seluruh warga negara. Semoga undang-undang ini dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi dunia kesehatan di Indonesia
Comments
Post a Comment